see also media release at Human Rights Groups Call For End To Farcical Commission

Letter:

• English PDF file
• Tetum PDF file
• Bahasa Indonesia PDF file

May 23, 2007

Dear President Yudhoyono and President Ramos-Horta,

You will recall that the June 2005 report to the United Nations Secretary-General of the Commission of Experts to Review the Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor-Leste (then East Timor) in 1999 recommended that Indonesia review prosecutions before the Ad Hoc Human Rights Court for Timor-Leste, investigate and prosecute those named in the Wiranto et al indictment, and report to the Secretary-General within six months of a date to be determined by him on the outcome of its investigations. It also recommended that if these measures were not initiated within this time frame, the Security Council should act to "create an ad hoc international criminal tribunal for Timor-Leste".

Before that report could be properly considered by the Secretary-General and the Security Council, your two governments set up the Indonesia-Timor Leste Commission of Truth and Friendship (CTF/KKP) to "establish the conclusive truth in regard to the events prior to and immediately after the popular consultation in 1999." However, the CTF has had many problems since its inception. They include:

• A lack of legitimacy attributable to three main factors: the perception that the CTF was established to avoid calls for an international criminal tribunal to try those accused of crimes against humanity in Timor-Leste in 1999; the failure to address crimes committed before 1999; and the amnesty provision, which would allow perpetrators of serious crimes to avoid accountability.
• The absence of any clear procedure for reviewing existing evidence about the violence in 1999 in order to arrive at a consensus about the truth, especially since key Indonesian government institutions have failed to provide relevant records.
• Serious deficiencies in the public hearings, including obvious biases on the part of some commissioners; the introduction of testimony irrelevant to the Commission’s mandate; the absence of any means for cross-checking testimonies against facts established by previous processes or actual evidence; conflict between Indonesian and Timor-Leste Commissioners; lack of assistance and protection for victims who testify; the ad hoc nature of witness testimonies; an imbalance of representation between victims and perpetrators; and the use of the public hearings as a forum for perpetrators to continue to blame the United Nations and other actors for the violence.
• Lack of transparency, clarity and a clear timetable for the Commission’s work.

It is obvious from its mandate and its performance that the CTF is not a credible mechanism to seek justice or even truth regarding events in Timor-Leste in 1999, let alone from 1975 to 1999. Out of respect for the victims of the violence and the rule of law in both nations, we, the undersigned representatives of human rights and other civil society groups in Timor-Leste, Indonesia and other nations, therefore urge you to immediately abandon the CTF and support a more credible judicial process.

With the agreement of the Indonesian Government to extradite those within its jurisdiction, and given greater resources and political backing than previously, the Special Panels for Serious Crimes (SPSC) of the Dili District Court could be reconstituted to complete outstanding prosecutions. The UN Integrated Mission in Timor-Leste has already taken the first step in this direction, by undertaking to complete the investigations which remained unfinished when the Serious Crimes Unit was closed down prematurely in 2005.

Given the inevitable and wholesale failure of the CTF/KKP we therefore call for the reconstitution of the SPSC. If that is not possible, we will continue to call for the establishment of an international criminal tribunal in line with the Commission of Experts report.

Other efforts that your governments could make to address the human rights violations committed during the Indonesian occupation of Timor-Leste include requesting the United Nations Security Council to implement former UN Secretary-General Annan’s recommendation, made in his Report on Justice and Reconciliation in Timor-Leste in July 2006, for an International Solidarity Fund for Timor-Leste; and discussion in both national parliaments on how to implement the recommendations in Chega!, the Report of the Timor-Leste Commission for Reception, Truth and Reconciliation (CAVR).

Finally, we draw your attention to the 4 May letter to UN Secretary-General Ban Ki-Moon from the International Center for Transitional Justice, and the 28 March statement from the Timor-Leste National Alliance for an International Tribunal. Both of these initiatives are also highly critical of the CTF and urge the creation of a credible mechanism to hold accountable high-level perpetrators of crimes against humanity in Timor-Leste. Anything less will fail to resolve this issue, which will continue to hamper the growth of democracy and respect for the rule of law in both Indonesia and Timor-Leste.

Yours sincerely,

 PDF file

4. La dun iha transparansia, klarifikasaun no horariu ne’ebé klaru ba Komisaun sira nia servisu.

Ho akordu husi Governu Indonezia nian atu lori arguidu sira iha juridiksaun nia laran, no fo rekursu nebe’e barak no suporta politiku nebe’e lahanesan ho uluk, Panel Spesial ba Krime Seriu nian (SPSC) iha Tribunal Distritu Dili bele konsidera atu harí fila fali hodi kontinua nafatin akuzasaun hirak nebe’e hasai tiha ona. Nasoes Unidas nia misaun iha Timor-Leste halo uluk tiha primeiru pasu ida ba oin, hodi halo nafatin atu kompleta investigasaun hirak nebe’e seidauk remata bainhira Unidade Krime Seriu nian taka sedu de’it iha tinan 2005.

Hare ba failansu hirak ne’ebé iha KVA/CTF, ami hakarak husu atu hari fila fali Panel Special ba Krime Seriu nian (SPSC). Se karik buat ne’e la bele duni, ami sei kontinua ejiji atu estabelese Tribunal Krime Internasional ida tuir relatoriu Komisaun Peritus sira nian.  

Esforsu seluk nebe’e ita-boot nia governu bele halo atu hato’o kona-ba violasaun kontra humanidade durante okupasaun Indonezia iha Timor-Leste mak husu ba Konselhu Siguransa Nasoes Unidas atu implementa rekomendasaun husi Annan, eis-Sekretariu Jeral Nasoes Unidas, husi ninia relatoriu ida kona-ba Justisa no rekonsiliasaun iha Timor-Leste iha Junhu 2006, konaba Fundus Solidaridade Internasional ba Timor-Leste; no diskusaun iha Parlamentu Nasional nasaun rua ne’e nian kona-ba oinsa atu implementa rekomendasaun hirak husi Chega!, Relatoriu Komisaun Verdade no Rekonsiliasaun (CAVR).  

Ikus liu, ami husu ita-boot nia atensaun ba karta nebe’e dirije iha loron 4 fulan Maiu karta ba Sekretariu Jeral Nasoens Unidas Ban Ki-Moon husi International Center for Transitional Justice, no deklarasaun iha loron 28 fulan Marsu husi Aliansi Nasional ba Tribunal Internasional. Inisiativa rua ne’e mos hato’o kritika ne’ebé boot teb-tebes kona-ba KVA no ejiji atu kria mekanizmu ida nebe’e kredibel atu hodi akuntabilidade ba arguidu nivel boot sira ne’ebé komete krime kontra humanidade iha Timor-Leste. La iha tan buat seluk atu hodi resolve kestaun hirak ne’e, nebe’e sei kontinua satan netik demokrasia nebe’e foin moris no respeitu ba estadu de direitu iha Indonezia nomos Timor-Leste.  

Ami nia respeita,

PDF file

SURAT TERBUKA

KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR-LESTE
TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN INDONESIA-TIMOR LESTE

Kepada Yth. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan President Jose Ramos-Horta,

Seperti Bapak-bapak ketahui, pada bulan Juni tahun 2005 sebuah laporan diserahkan kepada Sekjen PBB oleh Komisi Pakar yang Meninjau Kembali Proses Pendakwaan Pelanggaran Berat HAM di Timor-Leste (waktu itu Timtim) pada 1999. Antara lain, laporan tersebut menyarankan supaya Indonesia meninjau kembali dakwaan yang sedang disidangkan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor-Leste, menyidiki dan mendakwa orang-orang yang disebut dalam dakwaan Wiranto cs, dan melaporkan hasil penyidikan tersebut kepada Sekjen PBB dalam waktu enam bulan terhitung dari tanggal yang akan ditentukan oleh Sekjen PBB. Laporan tersebut juga menyarankan supaya, seandainya upaya tersebut belum dimulai dalam jangka waktu yang ditentukan itu, Dewan Keamanan bertindak untuk "menciptakan sebuah pengadilan pidana internasional ad hoc untuk Timor-Leste".

Sebelum laporan itu sempat dipertimbangkan oleh Sekjen dan Dewan Keamanan PBB, pemerintah RepubIik Indonesia bersama pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste mendirikan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (KKP) untuk "mengungkap secara tuntas kebenaran mengenai kejadian-kejadian menjelang dan segera sesudah jajak pendapat tahun 1999." Namun, sejak dibentuk, KKP itu ternyata banyak bermasalah. Masalah itu termasuk:

Dilihat dari mandatnya dan cara kerjanya, sudah jelas bahwa KKP tidak merupakan alat yang dapat dipercayai akan mencari keadilan ataupun kebenaran berkaitan dengan kejadian-kejadian di Timor-Leste pada tahun 1999, apalagi dari tahun 1975 sampai 1999. Maka, berdasarkan rasa hormat kepada para korban kekerasan maupun kedua negara yang bersangkutan sebagai negara hukum, kami yang bertanda-tangan di bawah ini, sebagai wakil organisasi HAM dan organisasi masyarakat lainnya di Timor-Leste, Indonesia serta negara-negara lain, menghimbau supaya Bapak-bapak segera menarik dukungan Bapak-bapak dari KKP itu, dan mendukung proses pengadilan yang lebih kredibel.

Special Panels for Serious Crimes (SPSC - Sidang Khusus Kejahatan Berat) dari Pengadilan Negeri Dili dapat dihidupkan kembali untuk memproses dakwaan-dakwaan yang belum diselesaikan, asalkan pemerintah Indonesia setuju akan menyerahkan para tersangka yang berada di dalam wilayahnya, dan sidang itu diberikan sarana dan dukungan politik yang lebih baik daripada yang diberikan pada masa lalu. Misi Terpadu PBB di Timor-Leste telah membuat langkah pertama dalam upaya tersebut dengan berjanji akan menyelesaikan penyidikan yang masih belum selesai pada saat Kesatuan Kejahatan Berat dibubarkan terlalu dini pada tahun 2005.

Mengingat bahwa KKP pasti akan gagal total, maka kami menghimbau supaya SPSC itu dihidupkan kembali. Seandainya hal itu tidak dapat dilaksanakan, kami akan tetap menyerukan supaya didirikan sebuah pengadilan pidana internasional sesuai dengan saran laporan Komisi Pakar.

Upaya-upaya lain yang dapat ditempuh oleh pemerintah kedua negara untuk menangani pelanggaran HAM yang dilakukan selama pendudukan Timor-Leste oleh Indonesia adalah meminta supaya Dewan Keamanan PBB melaksanakan saran yang dibuat oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan dalam laporannya tentang Keadilan dan Rekonsiliasi di Timor-Leste pada bulan Juni 2006, yaitu didirikannya sebuah lembaga Dana Solidaritas Internasional buat Timor-Leste. Selain itu, parlemen di kedua negara dapat mengadakan diskusi tentang cara mengimplementasikan saran-saran yang dimuat di Chega!, sebuah laporan yang disusun oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR).

Akhirnya, kami mohon perhatian Bapak-bapak atas sepucuk surat tertanggal 4 Mei yang ditulis kepada Sekjen PBB Ban Ki-Moon oleh Pusat Internasional untuk Keadilan Transisional, dan sebuah pernyataan tertanggal 28 Maret dari Aliansi Nasional Timor-Leste buat Pengadilan Internasional. Kedua instansi itu juga mengecam KKP, dan mendesak supaya diciptakan sebuah lembaga yang dapat dipercayai akan meminta pertanggung-jawaban dari para pembesar yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Leste. Tanpa usaha tersebut, masalahnya tidak akan dapat diselesaikan. Dan kalau dibiarkan, masalah itu akan tetap menghalangi perkembangan demokrasi serta hormat buat negara hukum, baik di Indonesia maupun di Timor-Leste.

Dengan hormat,

see also:

• Human Rights, Accountability and Justice page

WWW http://www.etan.org