Catatan ETAN Mengenai Meninggalnya Soeharto
Pertanggungjawaban Soeharto Tidak Boleh Mati Bersamanya
Mantan diktator Jenderal Soeharto wafat di
kamar tidurnya, bukan di dalam penjara, karena berhasil
menghindari tuntutan keadilan atas sejumlah kejahatan yang
terjadi di Timor Timur dan di seluruh penjuru nusantara. Sebagai
salah satu pembantai massal yang terburuk di abad ke 20, catatan
korban jiwa yang ditinggalkannya tetap mengejutkan:
-
500.000 sampai 1 juta orang Indonesia, setelah perebutan
kekuasaan olehnya di tahun 1965;
-
100.000 di Papua
-
100.000 sampai 200.000 di Timor Timur, dimana pasukannya
menginvasi secara ilegal di tahun 1975.
-
Puluhan ribu di Aceh dan berbagai tempat lainnya.
Soeharto juga mewarisi catatan korupsi yang
menyolok mata – sekitar 15 sampai 35 juta dollar Amerika Serikat
dicuri olehnya dan keluarganya.
Soeharto berhasil menghindari
pertanggungjawaban pribadi atas genosid, penghancuran, dan
korupsi yang ia lakukan atas bangsa yang ia pimpin. Akan tetapi,
para jenderal, kroni, dan anggota keluarga yang menjalankan
perintah-perintahnya dengan jalan pembantaian, penyiksaan, dan
korupsi tidak boleh dibiarkan membebaskan diri. Mereka yang
membunuh dan mencuri untuk kepentingan Soeharto dan rezim Orde
Barunya harus diadili.
Kita tidak melupakan pemerintah Amerika Serikat
yang secara konsisten mendukung Soeharto dan rezim yang
dipimpinnya. Sementara mayat-mayat membukit dan kegelapan
menutupi Indonesia, para pendukung Soeharto di Amerika Serikat
menanggapinya sebagai “sorotan cahaya di Asia”. Karena mengejar
“realpolitik”, sekalipun sepenuhnya menyadari kejahatan yang
Soeharto lakukan, para pemangku jabatan kepresidenan Amerika
Serikat tetap menyediakan bantuan militer berupa persenjataan
dan pelatihan, memperlengkapi para kaki tangan Soeharto. Sebelum
menginvasi Timor Timur, diktator Indonesia ini mencari dan
menerima persetujuan dari Amerika Serikat; 90% persenjataan yang
digunakan dalam serangan tersebut berasal dari Amerika Serikat.
Berhadapan dengan meluasnya oposisi domestik di
saat mana “keajaiban ekonomi” juga mengalami keruntuhan,
Soeharto akhirnya mengundurkan diri. Akan tetapi itu pun setelah
Secretary of State Amerika Serikat Albright menyarankan
demikian, fakta mana tentunya tidak diakui oleh Gedung Putih.
Advokasi terus menerus dari para aktivis dari
Timor Timur, Indonesia, Amerika Serikat dan dalam tubuh
Congress sendiri akhirnya berhasil mendesak pembatasan
bantuan militer Amerika Serikat atas rezim Soeharto di tahun
1990-an. Setelah Soeharto mengundurkan diri, Timor Timur
membebaskan diri dan angkatan bersenjata Indonesia kehilangan
sejumlah sumber dayanya. Akan tetapi sejak itu, reformasi dalam
tubuh angkatan bersenjata Indonesia mengalami kebuntuan dan
bahkan kemunduran. Angkatan bersenjata yang adalah kesayangan
Soeharto itu, secara substansial tetap memegang kekuasaan. Para
perwira tinggi dan purnawirawan, seperti misalnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, membangun karir mereka selama
pemerintahan Soeharto. Pihak militer yang kebal hukum itu terus
saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dan di Papua serta
beberapa daerah lainnya membatasi akses ke luar serta
menyebarkan teror untuk memenangkan kepentingan komersilnya.
Penyidikan seadanya atas kejahatan-kejahatan
semasa pemerintahan Soeharto tentu memberikan tambahan informasi
bagi publik, akan tetapi sejumlah kecil proses peradilan yang
berlangsung pada umumnya pun gagal, karena para terdakwa
berbohong, mengintimidasi, atau menyuap para penegak hukum
sehingga mereka pun dibebaskan/dilepaskan. Hal mana
menghancurkan harapan para korban dan keluarga korban yang
menuntut tegaknya keadilan dan permintaan maaf.
Untuk memerangi warisan Soeharto dan untuk
menegakkan hak asasi manusia internasional serta prinsip-prinsip
hukum, mereka yang melaksanakan, membantu, ikut serta, dan
menerima keuntungan dari perintah yang melawan hukum, seharusnya
pun dimintai pertanggungjawaban. Amerika Serikat harus
menjalankan pemeriksaan penuh atas peranannya dalam mendukung
diktator ini. Sebagai permulaan, Amerika Serikat harus mendukung
pembentukan mahkamah internasional untuk mengadili para pelaku
kejahatan melawan hak asasi manusia dan kejahatan perang di
Timor Timur selama tahun 1975 sampai dengan 1999, dan Washington
seharusnya mengkondisikan bantuan militernya terhadap Indonesia
atas "perkembangan menuju demokrasi penuh, subordinasi militer
kepada hukum dan pemerintah sipil, dan kepatuhan penuh atas hak
asasi manusia internasional” sebagaimana direkomendasikan oleh
Komisi bagi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur
(CAVR).
Catatan Singkat dari ETAN mengenai Soeharto
terdapat di
http://www.etan.org/news/2008/01suhartobh.htm.