Keluarga Korban dan Organisasi HAM masih menolak pelatihan KOPASSUS oleh Militer Amerika

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
Pelatihan bagi KOPASSUS Harus Didasarkan pada Tuntasnya Pertanggungjawaban Hukum bagi Anggota-anggotanya

Sejak tahun 1997, pemerintah Amerika Serikat memberlakukan sebuah undang-undang (Leahy Law) yang melarang pemberian bantuan militer bagi satuan militer luar negeri yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM. Atas dasar Leahy Law, pada tahun 1997 pemerintah Amerika Serikat menghentikan pelatihan terhadap KOPASSUS karena keterlibatan mereka terlibat dalam sejumlah peristiwa pelanggaran HAM, seperti kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998, kekerasan di Timor Leste serta penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay pada tahun 2001.

Aturan hukum di Amerika Serikat tersebut mengatur agar pemerintah Indonesia mengambil langkah efektif terlebih dahulu untuk membawa anggota-anggota Kopassus yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM ke hadapan hukum, jika pemeritah Indonesia ingin memulai kembali program pelatihan militer bersama, termasuk memberikan bantuan bagi Kopassus. Hal ini tentu saja dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah Amerika Serikat untuk menjunjung tinggi penghormatan Hak Asasi Manusia serta memenuhi keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Namun menjelang kedatangan Presiden AS, Barack Obama, ke Indonesia, muncul wacana agar pemerintah AS mencabut larangan tersebut dan membangun kembali kerjasama program pelatihan militer bagi prajurit-prajurit muda Kopassus. Sementara kita tahu bahwa beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan oleh Kopassus hingga saat ini belum dituntaskan oleh pemerintah Indonesia. (lihat Lampiran I). Kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998, hingga saat ini masih menggantung tanpa kejelasan, walaupun sidang paripurna DPR telah merekomendasikan 4 hal kepada Presiden RI. (Untuk isi rekomendasi lihat lampiran II)

Munculnya wacana pencabutan larangan program militer bersama bagi unit elit militer Indonesia tersebut akibat dari negosiasi yang dilakukan oleh 4 (empat) petinggi Kopassus – termasuk Komandan Kopassus, Jenderal TNI Lodewijk Paulus - yang berangkat ke Washington untuk melobi pemerintah Amerika Serikat. Bahkan Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro, sangat optimis bahwa kolaborasi antara AS dan Kopassus bisa dilanjutkan kembali setelah bertemu dengan Panglima Militer AS Kawasan Pasifik, Marsekal Robert F. Willard di Jakarta pada bulan Februari 2010.

Wacana pencabutan larangan program bersama antara AS dan Kopassus tentu saja menunjukkan sikap pemerintah yang menganggap peristiwa-peristiwa tersebut sudah selesai dan mengingkari fakta bahwa belum ada pemulihan hak korban dan penghukuman terhadap pelaku. Hal ini mencerminkan ketidakmauan pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan diangkatnya Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan tentu saja telah mengindikasikan dugaan bahwa pemerintah Indonesia telah menutup mata terhadap proses penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Contoh yang lain adalah mengenai Tim Mawar yang terdiri dari 11 (sebelas) prajurit Kopassus yang telah bertugas untuk menculik dan menghilangkan beberapa aktivis pada tahun 1997/1998. Walaupun persidangan Tim Mawar telah dilakukan pada tahun 1999, namun 7 (tujuh) orang prajurit Kopassus tersebut masih aktif dan semuanya menerima promosi jabatan.

Berdasarkan fakta diatas, maka kami menolak pencabutan larangan program pelatihan bagi unit elite militer Indonesia, yaitu Kopassus, oleh pemerintah AS. Disisi lain, kami tidak keberatan dilakukan pencabutan larangan program pelatihan terhadap Kopassus dengan syarat: pertama, Pemerintah Indonesia harus menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Kopassus dan aparat keamanan pada umumnya, kedua, pemerintah harus menjamin tidak akan berulangnya praktek pelanggaran HAM serupa.

Selain itu, kami mendesak Presiden RI untuk segera menindaklanjuti rekomendasi DPR pada tanggal 28 September 2009 mengenai kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Presiden SBY harus mengambil langkah mendesak (urgent), yaitu dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk membentuk tim pencarian 13 aktivis yang masih hilang, serta memberikan hak-hak pemulihan korban dan keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998.

Jakarta, 18 Maret 2010
Mugiyanto (IKOHI)
Usman Hamid (KontraS)
Poengky Indarti (Imparsial)
Atnike Nova Sigiro (ELSAM)

Lampiran I :

Tabel Putusan Hukum Tim Mawar

NO NAMA VONIS TUNTUTAN
1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan, dipecat 26 bulan, dipecat
2 Kapten (inf) F. Musthazar 20 bulan, dipecat 26 bulan, dipecat
3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan, dipecat 22 bulan, dipecat
4 Kapten (Inf) Yulius Selvanus 20 bulan, dipecat 26 bulan, dipecat
5 Kapten (Inf) Untung Budi 20 bulan, dipecat 26 bulan, dipecat
6 Kapten (Inf) Dadang Hendra 16 bulan 22 bulan
7 Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan 22 bulan
8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan 22 bulan
9 Serka Sunaryo 12 bulan 15 bulan
10 Serka Sigit Sunaryo 12 bulan 15 bulan
11 Sertu Sukadi 12 bulan 15 bulan

Sumber: Dokumen IKOHI

Lampiran II :

Rekomendasi Paripurna DPR RI Untuk Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998, 28 September 2009;

1. Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc;
2. Merekomendasikan Presiden serta segenap insitusi pemerintah serta pihak terkait
3. Untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang;
4. Merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan Kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; 4. Merekomendasikan Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia.