also TAAN PUBLIK
Indonesia: Penuhi jarak
antara retorika dan realitas soal pelanggaran HAM
massif 1965
Amnesty
International, Asia Justice and Rights (AJAR),
East-Timor and Indonesia Action Network (ETAN), La’o
Hamutuk, TAPOL, Watch Indonesia! and Yayasan HAK
PUBLIC STATEMENT
1 October
2016
Indonesia: Close gap between rhetoric and reality on
1965 mass human rights violations
Despite President Joko Widodo’s repeated commitments
to address human rights violations committed in 1965
– such as extrajudicial executions, enforced
disappearances and torture – more than five decades
later millions of victims and their families are
still waiting for truth, justice and reparation.
On the 51st anniversary of these
violations, Amnesty International, Asia Justice and
Rights (AJAR), East-Timor and Indonesia Action
Network (ETAN), La’o Hamutuk, TAPOL, Watch
Indonesia! and Yayasan HAK call on the Indonesian
authorities to go beyond just rhetoric. We call on
the authorities to take concrete steps that address
ongoing impunity for these crimes in accordance with
international law and standards.
In August 2015, President Widodo announced in his
Independence Day speech that he would establish a
non-judicial mechanism to ‘resolve’ all past human
rights violations. This would be through a
‘reconciliation committee’, so that “future
generations in Indonesia would not continue to bear
the burden of history”. However, victims and NGOs
are concerned that this process may prioritize
reconciliation to the detriment of truth and
justice.
Our organisations believe that the
establishment of a non-judicial mechanism to
address past human rights violations does
not preclude Indonesia’s obligations under
international law....investigate and, if
sufficient admissible evidence exists,
prosecute those suspected of human rights
violations and crimes under international
law...
|
Our organisations believe that the establishment of
a non-judicial mechanism to address past human
rights violations does not preclude Indonesia’s
obligations under international law. These
obligations are to investigate and, if sufficient
admissible evidence exists, prosecute those
suspected of human rights violations and crimes
under international law in fair trials, with no
recourse to the death penalty. The absence of such a
process would leave victims without an effective
remedy and could hinder their right to adequate
reparations. Furthermore, it could weaken public
confidence that the authorities are serious about
addressing the wider culture of impunity in
Indonesia and send the wrong message that such acts
can be committed without facing any consequences.
In April 2016, in a positive step, the government
organized a symposium on the 1965 human rights
violations. The event brought together survivors,
scholars, human rights activists, artists, the
Indonesian military and government officials to
provide testimony about the events that happened
across Indonesia at that time. Unfortunately, after
the symposium the authorities failed to agree a way
forward to end impunity for the 1965 mass human
rights violations and even ruled out making a formal
public apology for their role in these crimes.
Subsequently, there has been further scepticism of
the government’s commitment to address past human
rights violations when President Widodo appointed
General Wiranto to the post of Coordinating Minister
for Political, Law and Security Affairs in July
2016. Wiranto was indicted for crimes against
humanity by a UN sponsored tribunal in Timor-Leste
and named as a suspect in the inquiry initiated in
1999 by Indonesia’s National Commission on Human
Rights (Komnas HAM) for gross violations of human
rights in East Timor surrounding the 1999
referendum. To date, however, Indonesia has failed
to charge him.
Amnesty International, Asia Justice and Rights
(AJAR), East-Timor and Indonesia Action Network
(ETAN), La’o Hamutuk, TAPOL, Watch Indonesia! and
Yayasan HAK urge the Indonesian authorities to
address the 1965 mass human rights violations by
ensuring the rights to truth, justice and
reparation. The effective prosecution of those
responsible of human rights violations and crimes
under international law will not only send a strong
signal about Indonesia’s commitment to justice and
the rule of law but will also strengthen the efforts
of all victims and their families who have, for
several years, been fighting to ensure
accountability for the serious crimes committed in
different parts of the country.
Background
An estimated 500,000 to one million people were
unlawfully killed and hundreds of thousands were
held without trial for periods ranging from a few
days to more than 14 years when the Indonesian
military launched a systematic attack against
members of the Indonesian Communist Party (PKI) and
suspected sympathizers. Investigations by the
Indonesian National Human Rights Commission (Komnas
HAM) and other human rights organizations have
documented a range of human rights violations during
this period including unlawful killings, torture,
enforced disappearances, rape, sexual slavery and
other crimes of sexual violence, slavery, arbitrary
arrest and detention, forced displacement and forced
labour.
Many victims and their families also faced
violations of their social, economic and cultural
rights, and continue to this day to experience
discrimination in both the law and in practice.
A three-year investigation into the human rights
violations committed in 1965 was carried out by
Komnas HAM and was completed in July 2012, concluded
that the findings meet the criteria of gross human
rights violations, and include crimes against
humanity, as defined by the Indonesian Law No.
26/2000 on Human Rights Courts. To date, however,
there has been no indication that the government
will even launch a criminal investigation.
Meanwhile, attempts to establish a truth commission
on the national level have stalled due to a lack of
political will.
see also
Human Rights &
Justice page
Shatter
the Silence! Reveal the Truth, Acknowledge the Crime
A
Timorese View:
Time to End Impunity for
Suharto's Crimes in
Indonesia and Timor-Leste;Tetum:
Agora mak tempu atu hapara impunidade ba krime sira Suharto nian iha Indonesia no Timor-Leste
Bahasa Indonesia:
Sekarang Saatnya Memutus Impunitas
untuk Kejahatan Soeharto di Indonesia dan Timor-Leste (June 2016)
ETAN, Amnesty International,
Tapol and Watch Indonesia:
Truth-Seeking and Formal Public
Apology Essential for 1965/1966
Resolution (April
29, 2016)
ETAN/Tapol/Watch
Indonesia!: Appointment of General (ret.)
Wiranto as Minister confirms the deep-rooted impunity in Indonesia
(July 27, 2016)
ANTI:
Commemorating Referendum Day 30 August
1999 - 2016 and the International Day of the Enforced Disappearances
(August 30)
ETAN Backgrounder
Breaking the Silence:
The U.S. and Indonesia's
Mass Violence
(September 2015)
PERNYATAAN PUBLIK
1 Oktober
2016
Indonesia: Penuhi jarak
antara retorika dan realitas soal pelanggaran HAM
massif 1965
Meski adanya komitemen berulang dari Presiden Joko
‘Jokowi’ Widodo untuk menyelesaikan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang dilakukan pada 1965 –
seperti pembunuhan di luar proses hukum,
penghilangan paksa, dan penyiksaan – lebih dari lima
dekade setelahnya jutaan korban dan keluarganya
masih juga menunggu kebenaran, keadilan, dan
reparasi. Pada peringatan ke-51 tahun perisitiwa
pelanggaran HAM yang masif ini,
Amnesty International, Asia Justice and Rights
(AJAR), East-Timor and Indonesia Action Network
(ETAN), La’o Hamutuk, TAPOL, Watch Indonesia!, dan
Yayasan HAK menyerukan kepada para pihak berwenang
di Indonesia untuk melakukan sesuatu yang konkrit di
luar sekedar retorika. Kami menyerukan kepada para
pihak berwenang tersebut untuk mengambil
langkah-langkah nyata untuk menyelesaikan
kejahatan-kejahatan tersebut sesuai dengan hukum dan
standar-standar internasional.
Pada Agustus 2015, Presiden Jokowi di dalam pidato
kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
mengumumkan bahwa ia akan membentuk suatu mekanisme
non-yudisial untuk ‘menyelesaikan’ semua pelanggaran
HAM masa lalu. Inisiatif ini akan dilakukan lewat
sebuah ‘komite rekonsiliasi’, agar “generasi
mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa
lalu”.
Namun demikian, para korban dan
organisasi-organisasi HAM khawatir bahwa proses ini
akan memprioritaskan rekonsiliasi yang merusak upaya
pengungkapan kebenaran dan keadilan.
Organisasi-organisasi kami percaya pembentukan
sebuah mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tidak
mengubah kewajiban-kewajiban HAM Indonesia di bawah
hukum internasional. Kewajiban-kewajiban ini adalah
untuk menginvestigasi, dan jika ada bukti yang
tersedia, mengadili mereka yang diduga melakukan
pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan di bawah
hukum internasional di dalam sebuah peradilan yang
adil tanpa menerapkan hukuman mati.
Ketiadaan proses semacam itu akan menempatkan para
korban tanpa pemulihan efektif dan bisa menghambat
hak mereka atas reparasi yang layak. Lebih lanjut,
hal ini akan melemahkan kepercayaan publik bahwa
para pihak berwenang serius menyelesaikan budaya
impunitas yang lebih luas di
Indonesia dan mengirim pesan yang salah bahwa
kejahatan-kejahatan semacam itu bisa dilakukan tanpa
perlu menghadapi suatu konsekwensi.
Pada April 2016, dalam sebuah langkah maju,
pemerintah mengorganisir sebuah symposium tentang
pelanggaran HAM 1965.
Simposium tersebut mendatangkan para korban,
pakar ahli, aktivis HAM, budayawan, militer dan
pejabat pemerintah Indonesia untuk memberikan
kesaksian tentang kejadian-kejadian di segala
penjuru pada saat itu. Sayangnya setelah simposium,
para pihak berwenang gagal untuk menyepakati sebuah
langkah maju untuk mengakhiri impunitas atas
pelanggaran HAM masif 1965 dan bahkan menolak
membuat suatu permintaan maaf publik resmi terhadap
kejahatan-kejahatan tersebut.
Lebih lanjut, juga terdapat keraguan atas
komitmen-komitmen negara untuk mengatasi pelanggaran
HAM masa lalu ketika Presiden Jokowi mengangkat
Jendral (Purn) Wiranto menjadi Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada Juli 2016.
Wiranto pernah didakwa atas kejahatan terhadap
kemanusiaan oleh sebuah pengadilan yang disponsori
oleh PBB di Timor-Leste dan disebut sebagai salah
satu tersangka dalam penyelidikan yang dibuat pada
1999 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) atas pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur
di seputar referendum 1999. Namun demikian, hingga
hari ini Indonesia telah gagal mendakwanya.
Amnesty International, Asia Justice and Rights
(AJAR), East-Timor and Indonesia Action Network
(ETAN), La’o Hamutuk, TAPOL, Watch Indonesia!, dan
Yayasan HAK
mendesak pihak berwenang Indonesia untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM masif
1965 dengan menjamin hak atas kebenaran, keadilan,
dan reparasi. Proses penuntutan yang efektif
terhadap mereka yang bertanggung jawab atas
pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan di bawah
hukum internasional tidak hanya akan mengirimkan
pesan yang kuat akan komitmen Indonesia terhadap
keadilan dan supremasi hukum, tetapi juga akan
memperkuat upaya-upaya semua korban yang lain dan
keluarga mereka yang telah bertahun-tahun berjuang
memastikan akuntabilitas atas kejahatan-kejahatan
yang dilakukan di berbagai tempat di negeri ini.
Latar Belakang
Diperkirkan antara 500.000 hingga satu juta orang
tewas dibunuh dan ratusan ribu lainnya ditahan untuk
periode antara beberapa hari hingga lebih dari 14
tahun tanpa ada dakwaan atau peradilan sama sekali,
ketika militer Indonesia mulai melakukan
sebuah serangan yang sistematik terhadap para
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka
yang dituduh sebagai simpatisannya. Investigasi oleh
Komnas HAM dan organisasi-organisasi HAM lainnya
telah mendokumentasikan serangkaian pelanggaran HAM,
termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan,
penghilangan paksa, perkosaan, perbudakan seksual
dan kejahatan-kejahatan seksual lainnya, perbudakan,
penangkapan dan penahanan semena-mena, dan kerja
paksa. Banyak korban dan keluarga mereka juga
menghadapi pelanggaran-pelanggaran atas hak ekonomi,
sosial, dan budaya mereka, dan hingga hari ini terus
mengalami diskriminasi berdasarkan ketentuan hukum
dan secara praktik.
Sebuah investigasi tiga tahun terhadap
pelanggarangan HAM atas peristiwa ini, dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
dan selesai pada Juli 2012. Komnas HAM menemukan
bukti adanya pelanggaran HAM yang meluas yang
dilakukan di segala penjuru negeri ini antara 1965
dan 1966, dan pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut
terus berlanjut di tingkat bawah hingga akhir tahun
1970-an. Menurut Komnas HAM, temuan-temuan ini
memenuhi kriteria pelanggaran HAM yang berat, dan
termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yang
didefinisikan oleh Undang-Undang No. 26/2000 tentang
Pengadilan HAM. Namun demikian, hingga saat ini,
tidak ada indikasi bahwa pemerintah akan memulai
suatu penyelidikan pidana. Sementara itu,
upaya-upaya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran
di tingkat nasional berhenti karena minimnya kemauan
politik.